ADAT
ISTIADAT SUKU-SUKU DI SULAWESI TENGGARA
1.
BUTON
PAKANDE-KANDEA
Pakande-kandea
adalah suatu event tradisional yang merupakan warisan leluhur Suku Buton yang
lahir dan bermula sebagai nazar/syukuran. Dalam tradisi unik ini, disajikan
beraneka panganan kecil tradisional yang diletakkan di atas sebuah talam besar
yang terbuat dari kuningan dan ditutup dengan tudung saji bosara. Puncak dari
event ini, ketika semua tamu yang diundang mengawali acara makan bersam dengan disuapi
panganan oleh remaja-remaja putrid yang berpakaian adat dan duduk bersimpuh di
sebelah talam.
Seringkali, event ini merupakan ajang promosi remaja-remaja putri untuk mendapatkan jodoh. Selain itu, event ini merupakan arena kebersamaan rakyat untuk memupuk rasa persatuan dan kesatuan dalam hukum adat dan membina hubungan silahturahmi yang penuh keakraban. Tradisi ini merupakan permainan rakyat yang diatur dengan adat serta tata krama dan sopan santun tertentu yang hingga saat ini masih hidup dalam kehidupan masyarakat Suku Buton.
Seringkali, event ini merupakan ajang promosi remaja-remaja putri untuk mendapatkan jodoh. Selain itu, event ini merupakan arena kebersamaan rakyat untuk memupuk rasa persatuan dan kesatuan dalam hukum adat dan membina hubungan silahturahmi yang penuh keakraban. Tradisi ini merupakan permainan rakyat yang diatur dengan adat serta tata krama dan sopan santun tertentu yang hingga saat ini masih hidup dalam kehidupan masyarakat Suku Buton.
POSUO
Tradisi Posuo merupakan salah satu tradisi dari Sulawesi Tenggara
tepatnya di daerah Buton. Yang dimaksud Buton secara umum adalah wilayah
Sulawesi Tenggara meliputi Kota Baubau, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Buton, dan
Kabupaten Buton Utara. Tradisi Posuo yang berkembang di Sulawesi Tenggara
(Buton) sudah berlangsung sejak zaman Kesultanan Buton. Upacara Posuo diadakan
sebagai sarana untuk peralihan status seorang gadis dari remaja (labuabua)
menjadi dewasa (kalambe), serta untuk mempersiapkan mentalnya. Upacara tersebut dilaksanakan selama delapan hari delapan malam
dalam ruangan khusus yang oleh mayarakat setempat disebut dengan suo. Selama
dikurung di suo, para peserta dijauhkan dari pengaruh dunia luar, baik dari
keluarga maupun lingkungan sekitarnya. Para peserta hanya boleh berhubungan
dengan bhisa (pemimpin Upacara Posuo) yang telah ditunjuk oleh pemangku adat
setempat. Para bhisa akan membimbing dan memberi petuah berupa pesan moral,
spiritual, dan pengetahun membina keluarga yang baik kepada para peserta.Dalam
perkembangan masyarakat Buton, ada 3 jenis Posuo yang mereka kenal dan sampai
saat ini upacara tersebut masih berkembang. Pertama, Posuo Wolio, merupakan
tradisi Posuo awal yang berkembang dalam masyarakat Buton. Kedua, Posuo Johoro
yang berasal dari Johor-Melayu (Malaysia) dan ketiga, Posuo Arabu yang
berkembang setelah Islam masuk ke Buton. Posuo Arabu merupakan hasil modifikasi
nilai-nilai Posuo Wolio dengan nilai-nilai ajaran agama Islam. Posuo ini diadaptasi
oleh Syekh Haji Abdul Ghaniyyu, seorang ulama besar Buton yang hidup pada
pertengahan abad XIX yang menjabat sebagai Kenipulu di Kesultanan Buton di
bawah kepemimpinan Sultan Buton XXIX Muhammad Aydrus Qaimuddin. Tradisi Posuo
Arabu inilah yang masih sering dilaksanakan oleh masyarakat Buton.
Keistimewaan Upacara Posuo terletak pada prosesinya. Ada tiga tahap yang
mesti dilalui oleh para peserta agar mendapat status sebagai gadis dewasa.
Pertama, sesi pauncura atau pengukuhan peserta sebagai calon peserta Posuo.
Pada tahap ini prosesi dilakukan oleh bhisa senior (parika). Acara tersebut
dimulai dengan tunuana dupa (membakar kemenyan) kemudian dilanjutkan dengan
pembacaan doa. Setelah pembacaan doa selesai, parika melakukan panimpa
(pemberkatan) kepada para peserta dengan memberikan sapuan asap kemenyan ke
tubuh calon. Setelah itu, parika menyampaikan dua pesan, yaitu menjelaskan
tujuan dari diadakannya upacara Posuo diiringi dengan pembacaan nama-nama para
peserta upacara dan memberitahu kepada seluruh peserta dan juga keluarga bahwa
selama upacara dilangsungkan, para peserta diisolasi dari dunia luar dan hanya
boleh berhubungan dengan bhisa yang bertugas menemani para peserta yang sudah
ditunjuk oleh pemangku adat. Kedua, sesi bhaliana yimpo. Kegiatan ini
dilaksanakan setelah upacara berjalan selama lima hari. Pada tahap ini para
peserta diubah posisinya. Jika sebelummnya arah kepala menghadap ke selatan dan
kaki ke arah utara, pada tahap ini kepala peserta dihadapkan ke arah barat dan
kaki ke arah timur. Sesi ini berlangsung sampai hari ke tujuh.
Ketiga, sesi mata kariya.
Tahap ini biasanya dilakukan tepat pada malam ke delapan dengan memandikan
seluruh peserta yang ikut dalam Upacara Posuo menggunakan wadah bhosu (berupa
buyung yang terbuat dari tanah liat). Khusus para peserta yang siap menikah, airnya
dicampur dengan bunga cempaka dan bunga kamboja. Setelah selesai mandi, seluruh
peserta didandani dengan busana ajo kalembe (khusus pakaian gadis dewasa).
Biasanya peresmian tersebut dipimpin oleh istri moji (pejabat Masjid Keraton
Buton). Semua Upacara Posuo dimaksudkan untuk menguji kesucian (keperawanan)
seorang gadis. Biasanya hal ini dapat dilihat dari ada atau tidaknya gendang
yang pecah saat ditabuh oleh para bhisa. Jika ada gendang yang pecah,
menunjukkan ada di antara peserta Posuo yang sudah tidak perawan dan jika tidak
ada gendang yang pecah berarti para peserta diyakini masih perawan.
DOLE-DOLE
Dole-dole meruakan tradisi yang
dilakukan oleh masyarakat buton atas lahirnya seorang anak. Menurut kepercayaan
orang buton, anak yang telah didole-dole akan terhindar dari segala macam
penyakit. Prosesi dole-dole sendiri adalah sang anak diletakkan di atas nyiru
yang dialas dengan daun pisang yang diberi minyak kelapa. Selanjutnya anak
tersebut digulingkan diatasnya seluruh badan anak tersebut berminyak. Biasanya
dilakukan pada bulan rajab, syaban dan setelah Lebaran sebagai waktu yang
dianggap baik.
PIDOAANO KURI
Piduaano
kuri adalah sebuah ritual budaya yang di lakukan oleh masyarakat Wabula,
Kecamatan Wabula Kabupaten Buton. Kegiatan ini merupakan kegiatan penutup dari
keseluruhan rangkaian kegiatan adat dan budaya masyarakat wabula selama satu
tahun.
Secara harafiah Pidoaano Kuri berarti pembacaan doa untuk keselamatan hidup, sehingga keseluruhan acara tersebut dilandasi oleh doa syukur kepada Allah atas Rahmat dan Hidayah-Nya sejak tahun lalu hingga sekarang dan permohonan doa untuk tahun yang akan datang.
Secara harafiah Pidoaano Kuri berarti pembacaan doa untuk keselamatan hidup, sehingga keseluruhan acara tersebut dilandasi oleh doa syukur kepada Allah atas Rahmat dan Hidayah-Nya sejak tahun lalu hingga sekarang dan permohonan doa untuk tahun yang akan datang.
2.
TOLAKI
KALO
“Kalo”
adalah suatu benda yang berbentuk lingkaran, cara-cara mengikat yang melingkar,
dan pertemuan-pertemuan atau kegiatan bersama di mana para pelaku membentuk
lingkaran. Kalo dapat dibuat dari rotan, emas, besi, perak, benang, kain putih,
akar, daun pandan, bambu dan dari kulit kerbau. Pembuatan kalo pada dasarnya
adalah dengan jalan mempertalikan atau mempertemukan kedua ujung dari
bahan-bahan tersebut pada suatu simpul. Kalo meliputi osara (adat istiadat)
yang berkaitan dengan adat pokok dalam pemerintahan, hubungan
kekeluargaan-kemasyarakatan, aktivitas agama- kepercaya-an, pekerjaan-keahlian
dan pertanian (Tarimana 1993: 20).
Dari
berbagai jenis kalo, yang dikenal luas adalah yang terbuat dari rotan, kain
putih dan anyaman. Lingkaran rotan adalah simbol dunia atas, kain putih adalah
simbol dunia tengah dan wadah anyaman adalah simbol dunia bawah. Kadang-kadang
juga ada yang mengatakan bawah lingkaran rotan itu adalah simbol matahari,
bulan dan bintang-bintang; Kain putih adalah langit dan wadah anyaman adalah
simbol permukaan bumi. Mereka juga mengekspresikan bahwa lingkaran rotan adalah
simbol Sangia Mbu’u (Dewa Tertinggi), Sangia I Losoanooleo (Dewa di Timur) dan
Sangia I Tepuliano Wanua (Dewa penguasa kehidupan di bumi), dan wadah anyaman
adalah simbol Sangia I Puri Wuta (Dewa di Dasar Bumi). Kalo juga adalah simbol
manusia: lingkaran rotan adalah simbol kepala manusia, kain putih adalah simbol
badan dan wadah anyaman adalah simbol tangan dan kaki (angota).
Demikianlah
kalo pada pola pikir dan mentalitas Tolaki menyangkut seluruh aspek kehidupan
mereka. Kalo juga merupakan ekspresi konsepsi orang Tolaki mengenai unsur-unsur
manusia, alam, masyarakat dan hubungan selaras antarmanusia dan antara manusia
dengan unsur-unsur tersebut, termasuk dalam komunitas dan pola permukiman,
organisasi kerajaan dan adat dan norma agama yang mengatur tata kehidupan
mereka. Akhirnya dapat dikatakan bahwa kalo melambangkan keselarasan dalam
kesatuan-persatuan antara segala hal yang bertentangan dan tampak bertentangan
dalam alam tempat berhuni manusia Tolaki.
3.
MUNA
SELAYANG PANDANG
Aduan Kuda merupakan salah satu olahraga tradisional yang terkenal di
Sulawesi Tenggara, tepatnya di Kabupaten Muna dan telah menjadi tontonan yang
menarik bagi masyarakat luas. Di kalangan masyarakat Muna, atraksi ini populer
dengan sebutan pogeraha adara, yang berarti ‘adu kekuatan kuda‘.
Atraksi aduan kuda memiliki nilai filosofi yang berkaitan dengan keutamaan hak
dan harga diri dalam melaksanakan tanggung jawab. Masyarakat suku Muna akan
berupaya sekuat tenaga dalam menjaga hak dan harga dirinya, walaupun nyawa
taruhannya. Sampai sekarang, filosofi tersebut tetap menjadi pegangan dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat suku Muna.
Atraksi adu kuda ini merupakan warisan dari kerajaan Muna di era
kejayaannya. Pada awalnya, aduan kuda ditampilkan pada saat raja-raja di
Kerajaan Muna kedatangan tamu penting dari luar daerah, seperti dari pulau Jawa
atau dari daerah lain. Untuk menghibur para tamu tersebut, maka diadakanlah
atraksi aduan kuda yang kemudian menjadi tradisi turun-temurun. Setelah
kerajaan runtuh, tradisi aduan kuda tetap berkembang, bahkan saat ini menjadi
salah satu tradisi unggulan masyarakat suku Muna.
Setiap tahun setidaknya tiga kali diadakan atraksi aduan kuda, yaitu pada
peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia dan dua hari raya (Idulfitri dan
Iduladha). Biasanya, aduan tersebut selalu ramai ditonton oleh masyarakat. Pada
perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, penontonnya bisa mencapai ribuan
yang datang dari berbagai daerah.
TRADISI KARIA
Dalam adat suku Wuna (Muna), setiap anak perempuan
yang akan memasuki usia remaja diwajibkan menjalani tradisi pingitan (Karia)
selama empat hari empat malam atau dua hari dua malam, tergantung kesepakatan
antara penyelenggara Karia dengan pomantoto. Tradisi ini bertujuan untuk membekali
anak-anak perempuan dengan nilai-nilai etika, moral dan spiritual, baik
statusnya sebagai seorang anak, ibu, istri maupun sebagai anggota masyarakat.
Sesuai proses pingitan, diadakanlah selamatan dengan mengundang sanak keluarga,
kerabat dan handai taulan. Dalam prosesi selamatan ini digelar Tari Linda yang
menggambarkan tahap-tahap kehidupan seorang perempuan mulai dari melepaskan
masa kanak-kanak lalu memasuki masa remaja, kemudian masa dewasa dan siap untuk
mengarungi bahtera rumah tangga.
4.
MORONENE